Para
guru SMA/SMK mungkin terhenyak, terkejut, dan menarik nafas panjang ketika
membaca sebuah berita dari sebuah kliping koran yang tidak jelas nama koran dan
tanggal terbitnya yang beredar dengan cepat di media sosial.
Mengapa demikian?
Karena isi berita tersebut adalah Mahkamah Konstitusi atau MK (seolah telah)
memenangkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan daerah Pasal 15 ayat 1 dan 2 serta Lampiran huruf A tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan dalam sub-urusan Manajemen
Pendidikan.
Uji materi undang-undang ini diajukan pada 7 Maret 2016 oleh empat
wali murid dari Surabaya. Pemohon terdiri atas Ketua Komite SMAN 4 Surabaya
Bambang Soenarko, Ketua Komite SMPN 1 Surabaya yang juga wali murid SMAN 5 Surabaya
Enny Ambarsari, Radian Jadid dan Wiji Lestari.
Pada persidangan tersebut,
penggugat menghadirkan Walikota Surabaya Tri Rismaharini, pakar hukum
administrasi, Prof. Phillipus M. Hadjon, dan mantan hakim Konstitusi Haryono.
Selain itu, juga menghadirkan Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Martadi dan
tenaga administrasi honorer jenjang SMA/SMK. Poin utama dari gugatan tersebut
adalah menolak pengalihan pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota
kepada pemerintah provinsi. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan
Undang-undang Dasar 1945. Sebagai hak konstitusional warga negara, gugatan
tersebut sah-sah saja dilakukan, dan salah satu wewenang MK adalah menguji
sebuah Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945.
Putusan MK bersifat
final dan mengikat. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, termasuk salah satu
saksi yang menolak alih kelola SMA/SMK dari pemkab/pemkot ke pemprov dengan
sejumlah alasan, seperti SMA/SMK di Surabaya sudah gratis alias tidak
memberatkan orang tua/masyarakat. Pengelolaan SMA/SMK oleh pemprov hanya akan
menjauhkan pelayanan pendidikan pemkab/pemkot kepada masyarakat. Kalau ada yang
kurang, maka tugas pemprov untuk membantu, bukan menjauhkannya.
Menyikapi
berita tersebut, sontak guru SMA/SMK pun ada yang pro aktif untuk mencari
informasi informasi yang sahih dengan membuka laman MK, dan hasilnya MK memang
belum memutuskan gugatan tersebut. Walau demikian, guru-guru SMA/SMK mungkin
dag, dig, dug, khawatir gugatan tersebut dikabulkan oleh MK. Jika melihat
kepada kecenderungan atau aspirasi yang berkembang di kalangan guru-guru
SMA/SMK, mereka lebih cenderung mengharapkan SMA/SMK dikelola oleh pemprov
daripada oleh pemkab/pemkot dengan alasan:
Pertama, guru SMA/SMK menjadi objek politisasi, khususnya menjelang Pilkada.
Sebenarnya, politisasi guru bukan
hanya menimpa kepada guru SMA/SMK saja, tetapi juga menimpa guru SD dan SMP.
Para guru SMA/SMK tersebut ingin bebas dari bayang-bayang politisasi pada saat
Pilkada.
Kedua, pelayanan yang dinilai kurang optimal dan kurang profesional dari jajaran birokrasi Dinas Pendidikan terhadap guru-guru SMA/SMK, misalnya informasi yang suka terlambat, adanya pilih kasih perlakuan terhadap guru, kurang terbukanya dan kurang meratanya informasi atau kesempatan peningkatan profesionalisme dan karir guru SMA/SMK, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di antara mereka.
Ada guru yang berpendapat meskipun jauh, akses informasi dari
provinsi lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten/kota. Dengan kata lain,
political will pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan di SMA/SMK
dinilai masih rendah.
Ketiga, adanya harapan peningkatan kesejahteraan.
Tunjangan provinsi lebih besar dari tunjangan kabupaten/kota, bahkan ada
kabupaten/kota yang tidak memberikan tunjangan kepada guru. Oleh karena itu, rencana
pengelolaan SMA/SMK oleh provinsi membuat wajah guru-guru SMA/SMK berseri-seri
karena akan mendapatkan tunjangan yang lebih besar. Harapan tersebut sah-sah
saja dan manusiawi karena walaupun mereka telah mendapatkan tunjangan profesi,
tetap juga mengharapkan ada tunjangan lain untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Beruntunglah warga Surabaya yang pemerintah daerahnya telah berhasil
menggratiskan pendidikan jenjang SMA/SMK. Hal ini disebabkan karena Pemkot
Surabaya memiliki APBD yang mampu meng-cover pengelolaan pendidikan SMA/SMK.
Tapi Indonesia bukan hanya Surabaya. Masih ada kota-kota lain yang memiliki
kemampuan dan political will yang beragam dalam pengelolaan pendidikan jenjang
SMA/SMK. Belum lagi kondisi geografis daerah yang beragam. Ada provinsi yang
akses ke provinsinya relatif mudah, tetapi ada provinsi yang aksesnya jauh,
memerlukan waktu lama dan biaya yang besar jika ada keperluan ke provinsi.
Oleh
karena itu, MK tentunya diharapkan mempelajari secara bijak dan holistik
kondisi-kondisi tersebut sebelum memutuskan menerima atau menolak gugatan
tersebut. Pengelolaan SMA/SMK juga ada kaitannya dengan janji politik calon
Gubernur yang akan menggratiskan pendidikan jenjang SMA/SMK. Ketika SMA/SMK
masih dikelola oleh pemkab/pemkot, maka janji politik tersebut sulit untuk
direalisasikan.
Salah satu contohnya adalah sulitnya Gubernur Jawa Barat Ahmad
Heryawan untuk merealisasikan janji pendidikan SMA/SMK gratis di Jawa Barat
karena terkendala kewenangan, sementara di sisi lain, janji politiknya terus ditagih.
Dalam konteks otonomi daerah, urusan pendidikan adalah salah satu urusan yang
didesentralisasikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah kabupaten/kota,
sedangkan pemerintah provinsi hanya menjalankan asas dekonsentrasi dan tugas
perbantuan. Oleh karena itu, pemerintah provinsi seperti ompong, tidak mampu
mengendalikan pemkab/pemkot, karena akses mereka langsung ke Mendagri,
sementara pemprov dilewat.
Walau demikian, pengalihkelolaan SMA/SMK bukan tanpa
dasar. Yang menjadi dasarnya yaitu huruf A lampiran Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi “pemerintah provinsi
mengelola pendidikan menengah dan pendidikan khusus.” Lalu penjelasan Pasal 22
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016, yaitu yang dimaksud dengan
‘Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan bidang pendidikan’
adalah Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan bidang
pendidikan, sub urusan manajemen pendidikan yang terkait dengan kewenangan
pengelolaan pendidikan menengah dan pendidikan khusus.
Pasca disahkannya
undang-undang tersebut, Kemdikbud pun sudah melakukan berbagai persiapan
pengalihan pengelolaan SMA/SMK dari pemkab/pemkot ke pemprov.
Sejak digulirkan tahun 1999, otonomi daerah bertujuan untuk: (1) meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, (2) meningkatkan daya saing daerah, dan (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi hal ini nampaknya belum sepenuhnya terealisasi.
Salah satu indikatornya adalah adanya keinginan SMA/SMK dikelola
oleh pemprov supaya kualitas pelayanan dan kesejahteraannya lebih meningkat.
Mari kita menunggu putusan MK, dan semoga bisa memberikan keputusan yang
seadil-adilnya untuk kepentingan pembangunan pendidikan yang lebih baik.
Oleh : Idris Apandi
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/idrisapandi/sma-dan-smk-batal-dikelola-pemerintah-provinsi_5785225b5397734b0ad15b05
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)